Khadijah adalah putri Khuwailid ibn Asad ibn Abdil Izz. Dan Abdul Izz adalah saudara kandung Abdu Manaf, salah seorang kakek Nabi Muhammad saw. Keduanya bertemu pada Qushay ibn Kilab, kakek yang ke-4.
Sejarah tidak melupakan peran Khuwailid, ayah Sayyidah Khadijah ketika ia berdiri di hadapan Tuba, Raja Yaman yang datang ke Mekkah untuk berhaji. Raja itu ingin menghambil Hajar Aswad dan membawanya ke Yaman. Khuwailid menahan dan menghadang rombongan Raja Yaman itu seraya menjelaskan bahwa tindakan mereka itu akan membangkitkan murka Allah, dan bahwa Penguasa Rumah ini tidak akan membiarkannya, tetapi pasti akan menimpakan kepadanya laknat yang hebat.
Khuwailid dan para pengikutnya dari penduduk Mekkah berdiri menghadang rombongan Raja Yaman sehingga ia diliputi rasa takut akan laknat yang mungkin menimpanya. Omongan Khuwailid itu terus terngiang-ngiang di telinga raja itu dan memengaruhi pemikirannya. Ketika raja itu memasuki Ka’bah dan tidur di sana, ia bermimpi buruk seakan-akan nestapa dan laknat yang dahsyat membinasakan dan menghancurkannya.
Akhirnya, ia membatalkan keinginannya dan pulang ke Yaman dengan tangan hampa. Al-Sahili berkata:
“Khuwailid adalah orang yang menghadang rombongan Raja Yaman yang datang untuk berhaji dan ingin mengambil Batu Hitam serta membawanya ke Yaman. Khuwailid bangkit menghadang mereka. Sertamerta penduduk Mekkah bangkit mendukung Khuwailid. Dan kemudian si raja itu bermimpi sangat buruk sehingga ia membatalkan niatnya, dan pulang dengan tangan hampa.”
Pakar sejarah Ibn Ishaq menuturkan penggalan kisah ini secara lebih jelas dan sederhana, “Ketika Raja Yaman itu beranjak pulang, ia ingin membawa serta Batu Hitam sehingga penduduk Quraisy mendatangi Khuwailid ibn Asad ibn Abdil Izz ibn Qushay.”
Mereka berkata, “Apa yang akan terjadi pada kita jika Batu itu dibawa ke Yaman?”
Ia menjawab, “Apa yang kalian bicarakan?”
“Tuba hendak membawa Batu Hitam itu ke negerinya.”
“Kematian sungguh lebih baik.” Kemudian ia mengambil pedangnya dan bergegas pergi ke Ka’bah.
Penduduk Qurasiy mengikuti di belakangnya membawa senjatanya masing-masing. Mereka pergi menghadang rombongan Tuba.
Mereka bertanya, “Wahai Tuba, apa yang hendak kaulakukan dengan Batu itu?”
“Aku ingin membawanya ke negeriku.”
“Kematian sungguh lebih baik bagi kami daripada membiarkanmu membawanya.” Kemudian mereka mendekati dan mengelilingi batu itu menghalangi si Tuba.
Itulah Khuwailid. Lelaki pemberani yang ditaati dan diikuti kaumnya. Dialah yang membela keutuhan Ka’bah sementara ia hidup di masa Jahiliah. Ia dikenal oleh penduduk Mekkah sebagai orang yang berakhlak mulia dan berpekerti baik.
Ibunda Sayyidah Khadijah adalah Faimah binti Zaidah ibn al-Ashamm ibn Ruwahah ibn Hajar ibn Abd ibn Ma‘ish ibn Amir ibn Luay. Ibunda Fatimah, atau kakek Khadijah, adalah Halah binti Abdi Manaf ibn al-Harits yang tersambung kepada Luay ibn Ghalib.
Kedua orangtua Khadijah itu berasal dari keturunan terbaik di tengah kaumnya, dan keluarga yang paling kaya. Khadijah dibesarkan di sebuah rumah yang besar dan sarat materi. Kendati demikian, ia didisiplinkan oleh perilaku yang mulia, dan keluarga dikenal taat beragama. Keluarga itu terselamatkan dari banjir besar yang menerjang Mekkah dan menenggelamkan sebagian besar rumah keluarga Quraisy.
Pertolongan dan perlindungan Allah menjaga Khadijah sejak masa kanak-kanaknya. Ia mendapat perlindungan khusus dari Allah karena ditakdirkan untuk menjadi ibu bagi kaum beriman.
Tidak semua wanita layak menjadi ibu bagi kaum beriman. Allah telah menyiapkan pendidikan khusus bagi para istri Rasulullah. Pertolongan Ilahi menjaga mereka sejak penciptaan dan pertumbuhan mereka. Allah Ta’ala memilih mereka untuk memerankan suatu peran penting dalam kehidupan Muhammad, penutup para nabi. Karena itulah Nabi saw. tidak pernah menikahi seorang wanita demi kehormatannya atau kedudukan sosialnya, atau karena kekerabatannya. Ia menikahi mereka karena ilham dari Allah, demi suatu tujuan khusus yang telah ditetapkan oleh Allah.
Telah menjadi kebiasaan keluarga para pemimpin Quraisy untuk menikahkan putri mereka di usia belia. Jika seorang anak perempuan telah melewati usia sepuluh tahun, ia akan dinikahkan. Dan biasanya, tidak ada yang berani begitu saja melamar seorang anak perempuan dari keluarga bangsawan Quraisy kecuali mereka yang telah dikenal keutamaannya dan kemuliaan keturunannya.
Ketika Khadijah telah genap berusia 10 tahun, laki-laki pertama yang melamar dan kemudian menikahinya adalah Atiq ibn Abid ibn Abdillah al-Makhzumi.
Dari Atiq, Khadijah melahirkan seorang anak laki-laki yaitu Abdullah. Atiq meninggal lebih awal. Belum genap lagi masa berkabung Khadijah, Hind ibn Zararah ibn al-Nabbasy al-Tamimi melamarnya, yang kemudian memberinya dua anak laki-laki, yaitu Hind dan al-Harits, serta seorang anak perempuan, yaitu Zainab.
Jika kita berbicara mengenai keluarga Khadijah, kerabat, dan saudara-saudaranya maka kita akan mendapati mereka sebagai orang yang pemberani dan kaya. Misalnya, Hakim ibn Hazm, seorang keponakan Khadijah, dikenal sebagai orang yang kaya raya.
Begitu pula saudara sepupunya, yaitu Waraqah ibn Nawfal. Kedua orang ini memiliki peran penting dalam kehidupan Khadijah. Mengenai Hakim, ia dilahirkan oleh ibunya di mulut Kakbah. Ketika ia memasuki Kakbah, tiba-tiba ia merasa hendak melahirkan. Keistimewaan ini memuliakan Hakim.
Hakim dikenal sebagai orang yang cerdas, memiliki kemampuan nalar dan pandangan yang luas, bijaksana, dan dermawan sehingga dikisahkan bahwa ia menjadi salah seorang anggota Dar al-Nadwah ketika usianya baru menginjak lima belas tahun, padahal dewan itu hanya menerima anggota yang telah berusia minimal 40 tahun.
Bahwa ia diterima meski usianya masih belia membuktikan kecerdasan pikirannya, ketajaman pandangannya, dan keluasan wawasannya. Bahkan, Abu Sufyan begitu berhasrat meraih kedudukan seperti yang dicapai Hakim ibn Hazm.
Kecerdasan dan kecerdikan Hakim diterapkan dalam binis sehingga kafilah dagangnya berkembang pesat dan menjangkau hampir seluruh Jazirah Arab, Syam, Persia, dan lain-lain. Setiap kali pulang ke Mekkah kafilah dagangnya itu membawa keuntungan yang sangat besar.
Tidak ada yang dapat menandingi kekayaan Hakim pada masa itu. Kendati demikian, ia tidak menjadi laki-laki yang pelit. Ia gemar menyedekahkan hartanya kepada para fakir Mekkah dan kepada para tamu. Ia lakukan semua itu agar hartanya itu membawa berkah, kecintaan, dan kelembutan. Ia sangat dicintai oleh bibinya, yaitu Khadijah.
Ia sering mendatangi rumahnya, menemaninya, serta berbagi cerita dan bertukar pandangan dengannya. Sedangkan Waraqah ibn Nawfal, anak salah seorang paman Khadijah, adalah syekh besar yang berperan penting dalam pendidikan ruhani Khadijah di masa Jahiliah sebelum ia menikah dengan Muhammad.
Waraqah dikenal sebagai seorang yang zahid terhadap dunia. Seluruh hidupnya dicurahkan untuk menelaah semesta, beribadah kepada Allah, dan mengkaji Taurat dan Injil. Ia memahami sebagian tanda-tanda kenabian yang terdapat pada diri Muhammad saw. sebagaimana dikabarkan dalam Taurat, Injil, dan kitab-kitab lainnya.
Ia banyak berdiskusi dengan para rahib, dan gemar mempelajari kitab-kitab suci. Karena itulah ia mengetahui tanda-tanda nabi yang dijanjikan. Ia begitu berhasrat untuk menemui dan mengenali Nabi yang ditunggu itu sebelum mati, terlebih lagi ketika mengetahui bahwa Nabi yang dinantikan itu berasal dari keturunan Ismail ibn Ibrahim a.s.
Waraqah membenci perjudian, berhala, dan penyembahan terhadapnya. Sebaliknya, ia selalu menghadap kepada Allah, pencipta seluruh semesta. Ia memiliki keyakinan dan keimanan yang mendalam terhadap hari perhitungan, surga, dan neraka. Ia juga populer sebagai penyair yang sangat halus perasaannya, berjiwa besar, dan lapang dada. Ia mencintai manusia dan manusia mencintai serta menghormatinya.
Ketika ia melewati suatu majelis, orang-orang segera menyambutnya dan mengajaknya ngobrol berlama-lama dengan mereka. Tentu saja, dalam obrolannya, ia selalu memperkenalkan ajaran tauhid dan ibadah kepada Allah.
Siti Khadijah banyak dipengaruhi oleh kedua lelaki ini. Hakim anak saudaranya, Hizam, menjadi idolanya dalam urusan dagang, pengelolaan kekayaan, dan kedermawanan. Sementara Waraqah, anak pamannya, Nawfal, mengajarinya ajaran ruhani dan kontemplasi, serta penelaaahan terhadap alam semesta. Ia selalu memercayai ucapan Waraqah.
Ajaran Waraqah sangat memengaruhi Khadijah sehingga ia tumbuh sebagai wanita yang matang, bijak, dan cerdik. Ia dikenal memiliki pikiran yang visioner. Ia banyak belajar dari Waraqah mengenai keyakinan kepada Allah, tanda-tanda kekuasaan-Nya, pahala dan siksa-Nya, surga dan neraka-Nya, serta nilai keutamaan kerja dan infak kepada kaum fakir dan menolong orang yang membutuhkan.
Berkat ketajaman pikiran dan kedalaman rasanya, Waraqah mampu mengetahui apa yang berkecamuk dalam jiwa anak pamannya itu. Jiwa wanita itu hampa dari hasrat dunia. Ia selalu menjawab pertanyaan Khadijah dengan pengetahuan yang didapatkannya dari kitab-kitab suci dan bacaan lainnya sehingga nasihat-nasihatnya itu membekas dalam benak Khadijah dan memengaruhi kehidupan agamanya.
Selama hidupnya ia tidak pernah menyembah berhala, tak pernah menyajikan kurban untuk berhala, dan tidak penah bernazar untuknya.
Jadi, bisa dikatakan bahwa kehidupan Khadijah di masa Jahiliah sepenuhnya terbebaskan dari berhala dan penyembahan kepadanya. Ia juga suci dari perilaku yang keji dan penyembahan kepada selain Allah.
Sayyidah Khadijah menikmati kehidupan yang mulia dan terhormat di tengah masyarakat Mekkah, terutama di tengah kaum Quraisy. Ia banyak mendapat julukan yang menunjukkan keutamaan, kemuliaan, dan keistimewaannya dibanding semua wanita pada zamannya. Banyak sifat baik yang melekat pada dirinya yang semuanya membuktikan kecintaan masyarakat kepadanya.
Sebagian orang menjulukinya al-Thâhirah (Yang Suci), karena ia dikenal sebagai wanita yang suci. Julukan itu benar-benar menggambarkan keadaan dirinya. Khadijah pernah dua kali menikah di masa Jahiliah sebelum bertemu dengan Nabi Muhammad saw., pemimpin umat manusia.
Suaminya yang kedua meninggal ketika ia mulai memasuki usia dewasa. Ia terhindar dari perbuatan keji dan lebih memilih menyibukkan diri dalam urusan dagang. Banyak laki-laki yang ingin menikahinya. Banyak pula pedagang yang menyukainya, namun ia enggan menjadikan perdagangan sebagai perantara untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.
Ia memilih jalan keselamatan dan menjauhi dorongan nafsu, hura-hura, dan kesia-siaan. Barang dagangannya sangat banyak dan beragam. Ia tidak bergabung dengan para pedagang lain dan tidak ikut dalam suatu perkumpulan atau serikat dagang apa pun.
Sepenuhnya ia mengandalkan budak-budak dan para pelayannya untuk menjalankan bisnisnya. Budak yang paling setia dan paling dipercayainya adalah Maysarah. Ia menjadi wakil Khadijah yang menyampaikan perintah dan keinginannya kepada para pelayan yang lain.
Siti Khadijah digelari al-Thâhirah karena ia terjaga dari penyembahan kepada patung dan berhala. Ia tak pernah bergabung dengan kaum wanita yang suka berpesta pora. Telah dikenal luas bahwa rumah-rumah di Mekkah pada masa Jahiliyah sering menggelar pesta-pesta arak, nyanyi-nyanyi, dan dansa-dansi, serta berbagai kesenangan lainnya.
Siti Khadijah tak pernah sekalipun memasuki rumah atau tempat perkumpulan yang menggelar acara semacam itu. Ada juga pesta-pesta begadang yang digelar di rumah paman atau kerabatnya. Namun, semua kebiasaan itu tak dapat menggoyahkan jiwa Khadijah yang suci meski ia bergaul dekat dengan kaum wanita Quraisy.
Kaum wanita Quraisy menghormatinya dan sejarah pun mencatatnya dengan tinta emas, karena ia memiliki jiwa yang agung. Mereka sering mengunjungi rumah Khadijah untuk mendapatkan keutamaan dan kehormatannya.
Ketika ia keluar rumah menuju Ka’bah untuk bertawaf, mereka akan mengikutinya. Mereka tunduk dan patuh kepadanya. Tak seorang pun menentang ucapannya. Ia hanya mengucapkan yang baik, dan mereka juga selalu berusaha menjaga diri agar telinganya yang suci tidak mendengar kata-kata yang buruk dan keji.
Kaum wanita Quraisy tersinggung dan sangat marah ketika ada seorang Yahudi yang berdiri di sekitar Kakbah kemudian memanggil para wanita seraya berkata, “Wahai wanita Quraisy, sungguh akan muncul seorang nabi zaman ini.
Maka, siapa saja yang ingin melayani dan menjadi gundiknya, bersiaplah!” Para wanita Quraisy yang mendengar ucapan si Yahudi itu seketika bangkit amarahnya dan kemudian melempari mulut keji itu dengan batu.
Padahal, biasanya, mereka akan bersenda gurau dan mungkin akan membiarkan orang yang berkata seperti itu. Mereka marah karena di sana ada Siti Khadijah, perempuan yang mereka hormati.
Julukan lain yang disematkan kepada Siti Khadijah adalah “Pemimpin Wanita Quraisy”. Tidak ada wanita lain pada zamannya yang mendapat julukan seperti itu. Julukan itu, tentu saja, dilekatkan kepadanya karena sifat-sifatnya yang terpuji dan mendekati kesempurnaan. Masyarakat bersepakat memberikan julukan itu karena keutamaan akhlak dan perilakunya. Harta hasil perdagangannya sangatlah banyak dan berlimpah.
Namun, ia tak pernah menjadi budak harta. Ia pun tidak tenggelam dalam aktivitas bisnisnya dan melupakan aspek kehidupan lain. Ia pergunakan hartanya dengan sangat bijak, dan gemar bersedekah kepada kaum fakir dan yang membutuhkan. Para ulama dan para penulis menggambarkan sosok Khadijah dengan ungkapan:
“Jiwanya terhindar dari urusan kemanusiaan dan keduniaan, dan dari membicarakan urusan mereka. Ia senantiasa menelaah dan merenungkan apa yang ada di balik kehidupan ini. Ia bertanya kepada para ahli kitab tentang rasul-rasul yang telah diutus dan rasul yang akan diutus oleh Allah sebagai pembimbing bagi manusia.
Ia juga selalu mencari tahu tentang Tuhan Yang Maha Agung, yang layak disembah dan disujudi serta ditaati. Jiwanya yang suci, dan ketajaman daya pikirnya membantunya merenungkan perkara-perkara semacam itu.”
Kitab-kitab sejarah menuturkan bahwa ia sering berbincang-bincang dengan anak pamannya, yaitu Syekh Waraqah ibn Nawfal mengenai rasul yang akan diutus oleh Allah untuk membimbing manusia.
Ia pun sering bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, “Apakah waktunya telah dekat bagi datangnya rasul mulia yang dijanjikan dan dinantikan? Apakah ia akan punya kesempatan untuk menemuinya? Dan akankah ia dapatkan posisi tertentu di sisi Sang Nabi?
Pemikirannya yang suci tentang risalah yang ditunggu dan tentang rasul yang dijanjikan telah menjauhkannya dari permainan dan kesia-siaan yang kala itu telah menjadi tradisi kaumnya.
Dengan begitu, ia naik meraih tingkatan terpuji di antara manusia.
Ia distimewakan dengan gelar “Pemimpin Wanita Quraisy”, padahal ada banyak wanita bangsawan di tengah kaum Quraisy. Hanya Khadijah seorang yang mendapat gelar itu. Di Mekkah, khususnya di Quraisy, banyak wanita yang dianggap pintar, terhormat, dan kaya, tetapi Sayyidah Khadijah mengatasi mereka semua berkat pemikirannya, kecerdasannya, kekayaan, kehormatan, dan kesuciannya dari perilaku nista dan keji.
Ia juga masyhur di tengah kaumnya dengan kehormatan dan keagungannya, serta kebiasaannya menolong orang yang membutuhkan. Rumahnya sering didatangi para fakir, orang yang membutuhkan, dan para tamu lainnya. Ia gemar bersedekah sehingga banyak penduduk Mekkah yang cemburu dan ingin menjadi seperti dia.
Akhlak dan perangainya begitu terpuji. Tak heran jika mereka menjulukinya “Pemimpin Wanita Quraisy”. Ia juga mendapat gelar Ummul Mukminin, atau Ibu Kaum Beriman, gelar yang mengangkatnya ke derajat yang tinggi dan posisi yang tak tergantikan sepanjang zaman.
Ia curahkan segala miliknya untuk membantu perjuangan dan dakwah Nabi saw. Semua kekayaannya ia persembahkan untuk menolong kaum muslimin ketika mereka diboikot dan diembargo oleh kaum kafir Quraisy.
Secara sembunyi-sembunyi ia menulis surat kepada keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabatnya yang berada di luar wilayah embargo dan yang bersimpati kepada kaum muslimin. Ia meminta mereka mengirimkan makanan dan kebutuhan lainnya untuk kaum muslimin, meski kaum kafir senantiasa mengawasi dan mengintai gerak-gerik kaum beriman.
Orang-orang yang disurati Khadijah bersegera menjawab dan memberikan bantuan. Sungguh, Allah telah memuliakan Khadijah dengan menjadikannya Ummul Mukminin yang paling utama.
Dan mungkin, gelar yang paling agung adalah “Pemimpin Seluruh Wanita”.
Gelar itu menyatukan gelar-gelar yang telah disebutkan sebelumnya. Tidak ada wanita di seluruh dunia yang mendapat gelar semulia itu. Julukan ini tidak diterima oleh para Sayyidah dari umat Nabi Muhammad saw., baik oleh para istri Nabi saw., maupun para wanita dari kalangan lainnya, kecuali Sayyidah Fatimah al-Zahra binti Rasulullah.
Sebelum mereka, hanya ada dua wanita yang mendapat gelar kehormatan ini, yaitu Maryam binti Imran dan Asiah binti Mazahim. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. bahwa Rasulullah suatu ketika membuat empat garis di tanah kemudian bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian, apakah ini?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
“Ahli surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiah binti Mazahim, istri Firaun.”
Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ali karramallâhu wajhah, bahwa Nabi saw. bersabda, “Wanita terbaik adalah Maryam binti Imran dan wanita terbaik adalah Khadijah.”
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wanita ahli surga yang paling mulia adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiah binti Mazahim, istri Firaun.”[*]
Gelar dan kedudukan yang mulia ini tidak didapatkan begitu saja oleh Ibunda Siti Fatimah, Khadijah r.a. Semua gelar itu didapatkan berkat perjuangan dan kesungguhannya mendampingi Nabi yang mulia.
Ia serahkan semua miliknya kepada Allah dan dalam perjuangan menegakkan agama-Nya. Ia kokoh berjalan di sisi Nabi Muhammad saw. dan tak pernah lelah membantu perjuangan dakwahnya. Peran penting dan perjuangannya itu akan tampak jelas jika kita telaah kehidupan putrinya, Fatimah al-Zahra, yang sangat banyak dipengaruhi oleh perjuangan dan sifat mulia ibundanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan